Cuplikan "Memerintah Dengan Lelucon" (2)

Jakarta, 14 Juni 2005

Tunggu, saya ingin membuat pengakuan.

Mendung makin tebal menggelayut, menggantung di langit Jakarta. Sisa gerah sudah berganti sejuk yang sesak, seperti senyum perempuan memendam dendam. Saya tahu persis keadaan di luar sana, karena bertahun-tahun saya melewatkan siang di jalanan.

Dan kamu? Kamu yang tak pernah mengenal gerah, yang sejak balita bermobil kemana-mana, apa pendapatmu tentang sejuk yang sesak dari mendung menggelayut? Secangkir kopi lagi, katamu memesan kepada pelayan yang berserangam lebih apik dari para stewardess penerbangan trans-atlantik. Imajinasi secangkir kopi, malam-malam romantis di kota-kota lingkar mediterran dimusim panas, romantisme perlawanan khas latin amerika, bersatu padu dalam benakku menyaksikanmu mengepulkan asap Monte Cristo. Sejak kapan kamu gemar cerutu?

Tapi ini memang Mercantile Club. Oase bagi para eksekutif papan atas Jakarta. Dan kopi dan cerutu dan sopan santun tak bernama melalui obrolan pelan penuh senyum, tidakkah semuanya menguarkan kepalsuan juga? Dan kamu rupanya sudah terbiasa. Meski tadi, kita telah memesan rasa lapar yang asing atau entah memesan apa.

Aku teringat pertemuan dan perkenalan kita dahulu di kampus yang berbau kayu dan tanah dengan rumpun-rumpun bambu nan rindang. Kamu datang sebagai anak yang manis yang halus tangannya hanya bisa dibandingkan dengan telapak pacar-pacar yang selalu kita elus-elus itu. Kulitmu bersih khas anak-anak orang kaya. Sangat kontras dengan kusut kumuh sosokku, sosok kami mahasiswa umumnya, yang datang dari desa-desa yang jauh berbekal cita-cita perubahan nasib dan kehormatan.

Kamu bergabung dengan kami, kelompok kecil warung bambu yang belakangan kita sebut bamboo-house. Kelompok ngopi-ngopi siang dan sore hari di sela-sela perkuliahan. Kelompok debat yang tak tentu juntrungan khas mahasiswa. Dan yang ramai kita perdebatkan tentu soal politik, sampai akhirnya kelompok kita menjelma menjadi kelompok penentang yang rajin memasang poster dan spanduk. Kelompok mimbar bebas. Kelompok penulis sajak protes. Kelompok penyelenggara seminar dengan mengundang pembicara-pembicara yang menjadi musuh rejim. Bahkan, seorang eks tapol pun kita pernah undang untuk berbicara di mimbar bebas di lapangan kampus. Dan sejak saat itu, bamboo-house selalu dijubeli intel-intel Kodam, petugas yang belakangan sering juga nebeng di mobil Kijang milikmu kalau kita sudah harus pulang.

Waktu itu saya tak habis pikir. Kehidupanmu yang mapan sebagai putra seorang pengusaha, atau penguasa, atau apalah namanya, sangat tak masuk akal bisa didongkeli sikap-sikap dan pilihan seperti yang kami jalani. Sikap dan pilihan menjadi aktivis dengan masa depan tak menentu. Kamu bermobil ke kampus. Kamu bisa bersekolah di negeri mana pun dengan biaya orang tuamu dan dapat meraih masa depan yang gemilang. Mengapa harus memilih jalan sulit? Mengorbankan jam-jam kuliah di kelas untuk saling adu gagasan di bamboo-house, lalai menyetor tugas-tugas kuliah karena lebih sibuk dengan bulletin stensilan dan selebaran atau ikut mengompori pedagang kaki lima untuk memprotes penggusuran. Mengapa?

“Aneh,” tiba-tiba kamu berteriak. Monte Cristomu terjatuh ke lantai berkarpet.
“Apa yang aneh,” balasku terkejut.
“Kamu. Katanya mau membuat pengakuan.”

Pengakuan?

Tunggu. Aku kini teringat topik yang pernah berminggu-minggu menjadi bahan diskusi kita di bamboo-house. Lelucon politik atau humor politik atau apalah namanya. Ketika itu terbit sebuah buku kecil berjudul Mati Ketawa Cara Rusia -- dan diberi pengantar oleh Abdurrahman Wahid, tokoh yang belakangan menjadi Presiden RI. Tokoh yang dulu kita sangat kagumi dan heran ketika jadi Presiden begitu banyak orang tak menyukainya.

Saya ingat persis bagaimana buku itu beredar dari tangan ke tangan dan hampir seluruh humor di dalamnya kita hapal di luar kepala, seperti menghapal nama cewek-cewek buruan kita. Tapi, yang kuingat hingga saat ini hanya ucapan Abdurrahman Wahid pada pengantarnya: “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku. Tetapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku yang dia pinjam.” Lucu bukan?


Pemerintahan akhirnya mesti dibedakan secara tegas dengan panggung teater. Meski keduanya dapat menimbulkan efek yang sama bagi publik – skenario, plot, suspens, dst., dan keduanya butuh kesungguhan dan daya cipta. Karena itu, bila kemudian dalam mengelola pemerintahan, Gus Dur lebih banyak main teater, yang artinya sama dengan main politik, efektifitas posisi dan legitimasinya kemudian akan makin dipertanyakan, wibawa dan kharismanya kemudian perlahan akan tergerus.

Memerintah dengan Lelucon

Politik, pada awalnya dan juga pada akhirnya, adalah permainan. Mungkin karena itulah, Gus Dur tak pernah tampak serius betul memerintah. Sebagai Kepala Negara, juga Kepala Pemerintahan, kiyai kita itu tampak lebih banyak melempar anekdot dan lelucon. Seakan hanya dengan canda dan guyon, masalah-masalah besar kenegaraan dan kebangsaan bisa terselenggara dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sampai santer terdengar ungkapan, andaikata lelucon dan anekdot bisa diekspor, ekonomi Indonesia bisa segera keluar dari krisis dan segera bangkit kembali.

Memang tak terbantah bahwa pada suatu saat pemerintahan yang angker itu memerlukan kelakar. Harun Al Rasyid, Khalifah V kerajaan Abbasiyah, memerintah “didampingi” Abunawas yang amat pandai memecahkan persoalan. Dengan lelucon, tentu saja. Tapi kita juga sadar bahwa pemerintahan, pada penghujung abad ini, adalah sebuah disiplin yang amat jauh berbeda dengan jaman kejayaan kesultanan Islam tahun 700-an Masehi itu. Termasuk modus dan kiat permainan politik yang menyertainya.

Gus Dur pasti memahami itu, karena dia adalah seorang yang sangat mengerti gelagat sejarah dan seorang yang dikenal sebagai pencerap yang lahap dari pemikiran-pemikiran besar.

Cuma persoalannya ialah bahwa pemerintahan umumnya tak bersangkut paut dengan great design dari pikiran-pikiran besar semata. Dia lebih memerlukan sebuah sikap “nyinyir” atas nama detail dan permakluman yang dalam atas kerumitan teknis. Dia, pemerintahan moderen itu, lebih butuh sikap dingin seorang dokter dan ketekunan seorang akuntan, ketimbang antusiasme seorang pemikir jenius yang terpukau ideal-ideal filosofis. Dia lebih memerlukan manajer ketimbang idiolog yang umumnya tak memahami alif bengkoknya perencanaan dan pengendalian. Pemerintahan lebih butuh teknokrat. Karena pemerintahan adalah sebuah organisasi besar, sesuatu yang mengandaikan tingkat rasionalitas tinggi di satu pihak. Sementara pada pihak lain, dia sejenis kanal bagi segenap kepentingan subyektif kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Karenanya, dia tentu lebih butuh birokrat. Ya, teknokrat dan birokrat. Dua tipe yang nyatanya tak akrab dengan guyon, kelakar dan anekdot.

Pemerintahan akhirnya mesti dibedakan secara tegas dengan panggung teater. Meski keduanya dapat menimbulkan efek yang sama bagi publik – skenario, plot, suspens, dst., dan keduanya butuh kesungguhan dan daya cipta. Karena itu, bila kemudian dalam mengelola pemerintahan, Gus Dur lebih banyak main teater, yang artinya sama dengan main politik, efektifitas posisi dan legitimasinya kemudian akan makin dipertanyakan, wibawa dan kharismanya kemudian perlahan akan tergerus.

Masyarakat yang sudah terbiasa berada pada jalur tertib, dalam ritus kepatuhan dan kebungkaman sepanjang masa Orde Baru, akan kembali merindukan betapa sebuah tata tertib harus kembali ditegakkan. Kalau perlu dengan bedil. Sebab mereka yakin, dalam barisan yang apik dan derap seragamlah, tujuan tampaknya akan lebih mudah tercapai.

Tapi tentu saja kita tak ingin lagi kembali ke masa itu. Masa dimana pemerintahan tak mengenal senyum apalagi lelucon. Karena sudah terbukti bahwa dalam sebuah derap langkah tegak barisan, seseorang tiba-tiba, maaf, kentut, maka tata tertib akan cair dan bubar dengan sendirinya.

Jadi, politik memang tak akan berhenti hanya sebagai sebuah permainan. Dia butuh kesungguhan. Dan bila Gus Dur masih terus dengan gayanya itu, kita akan segera menghadirkan orang yang, kalau perlu, alergi kelakar dan anekdot. Untuk mengurus pemerintahan. Dan biarkanlah Gus jadi Kepala Negara saja. Bukankah, kali ini ternyata Abunawaslah yang justru jadi khalifah?***



0 comments:

Newer Post Older Post Home