Cuplikan "Memerintah Dengan Lelucon" (1)

Memerintah Dengan Lelucon adalah draf yang dipersiapkan menjadi sebuah buku. Berisi esai-esai yang ditulis pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian diberi sakadar frame untuk menjaga aktualitasnya. Esai-esai ini terbit setiap minggu pada kolom Ventilasi, Tabloid Integrasi.
Salam
moch. hasymi ibrahim
Jakarta, 14 Juni 2005

Mendung menyaput langit Jakarta menjadi lebih kelam. Lamat-lamat dari bawah sana berdengung gemuruh lalulintas, seolah bisikan kabar buruk. Sesekali terdengar bunyi klakson, merambat mendaki dinding gedung seperti desak ketaksabaran. Hujan memang tidak turun meski kelam telah menyungkup siang. Cuaca ternyata makin sulit ditebak, seperti gelagat pemerintah. Tetapi benarkah pemerintah sekarang sulit ditebak?

Kita berdua saja. Duduk. Entah untuk apa. Kita hanya mencoba menepi dari bising dan sesak Jakarta, mencari oase di pucuk sebuah gedung, di lantai 21, di sebuah lounge yang lapang, adem dan wangi . Kamu khusyuk menghadapi notebook-mu, berselancar di dunia maya, seperti hendak mengekalkan sejuk – atau mungkin hanya bercanda dengan gadis-gadis maya di ruang chat.

Memesan kopi hitam yang pekat, kamu seperti memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya (untuk mengutip sebuah sajak). Dan aku – masih mengutip syair itu : entah memesan apa. Tetapi di meja kita kemudian tersaji dengan apik dua potong tiramisu, dua cangkir kopi hitam. Kita memang menyukai kelam, bukan?

Dalam asyik kediam-diaman kita, aku yang tak benar-benar sanggup menepi dari bising Jakarta, memandang gedung kusam di seberang, tiba-tiba membayangkan sosok seorang birokrat, berusia separuh baya, mungkin 48 atau 52, duduk dengan tenang di ruang kerjanya yang sepi dan tersembunyi, di sayap lain kantor kepresidenan. Dia mengenakan potongan resmi sederhana, dengan dasi merah maroon, dengan kacamata Cartier model lama. Kubayangkan dia sedang memelototi dokumen dengan ketelitian seorang peneliti mikrobiologi. Dengung AC mendengung halus meningkahi dengung pentium dari notebook tipis di meja kerjanya.

Ya, saya bayangkan dia juga sedang menepi dari riuh Jakarta. Tepatnya, dari hiruk pikuk urusan kepresidenan yang tak habis-habis. Di ruangan kerjanya, di West Wing yang lain ini, dia memang selalu menemukan ketenangan siang hari. Dia seperti kembali kepada keutuhan diri setelah di luar sana, entah di ruang mana istana kepresidenan ini, dia tak lebih dari ornamen pelengkap dari upacara-upacara resmi, berdiri bagai patung perunggu di sisi belakang Presiden, diam menyimak menangkap poin-poin penting pernyataan dan sesekali mengedarkan pandangan untuk membaca ekspresi wajah orang-orang penting yang hadir.

Kalau di luar sana dia hanya ornamen, patung bisu upacara kenegaraan, pelengkap kemegahan, di ruangan ini dia merasa benar-benar bermakna. Utuh sebagai manusia, dengan segenap kuasa yang disandangnya. Dan mungkin tak banyak yang tahu, kalau dari meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni berlapis kaca gelap ini, nasib orang-orang penting di luar sana ditentukan dan dipermainkan.

Tetapi benarkah demikian?
Entah.
Tapi itulah yang saya bayangkan saat ini.

Dan istana kepresidenan, memang sebuah lanskap yang selalu menarik perhatian dan keingintahuan, sebuah atmosfir dimana kekuasaan dan pengaruh dikendalikan. Paling tidak kantor amat penting itu, telah menjadi saksi pembicaraan-pembicaraan penting yang menentukan nasib dan kehidupan jutaan orang lainnya, termasuk pesta-pesta megah kenegaraan yang entah mengapa selalu membuat kita yang menyaksikannya lewat televisi menjadi irihati.

Mendung di luar makin tebal. Hujan tak juga turun dan ketidaksabaran kendaraan di bawah sana makin nyata dalam pekikak klakson, lamat-lamat sampai ke sini.

Kita memang tumbuh dalam masa dimana ritus-ritus kenegaraan menjadi pukauan, seperti sihir, terutama bagi kepolosan kanak-kanak nun jauh di pedesaan. Siaran TV dengan kanal tunggal pada masa itu, memaksa kita untuk terobsesi pada kehidupan istana, dengan segenap upacara simboliknya. Dan sayangnya, tak pernah terbayangkan, siapa gerangan yang telah bekerja di balik semua kemegahan itu. Siapa yang – seperti birokrat yang saya bayangkan itu, berada pada sebuah ruang tersembunyi, dengan tekun, mengurus hal-hal megah di luar sana tanpa perlu menampilkan diri. Seorang yang mungkin ketulusannya dan kealpaannya, ambisi dan kerendahatiannya, tak akan pernah dapat kita lacak.
Karena birokrasi amat besar dan luas, diperlukan pula penataan ulang hirarkhi demi melancarkan lalu lintas pemerintah dan kendali. Selanjutnya dirancang strategi pelayanan untuk menumbuhkan budaya pertanggungjawaban.
Jakarta, 30 Juni 2000

Sang Birokrat

Ruang kerja itu tenang, nyaris sunyi. Hanya ada desis halus AC dan sesekali dering telepon. Debu yang biasanya lazim di kantor-kantor pemerintah, seolah enggan hinggap di sana. Mungkin segan. Mungkin juga karena penghuninya, lelaki separuh baya itu, adalah sosok yang tak betah dengan debu. Atau, karena ruangan ini adalah ruang kerja paling penting di Republik. Ini adalah kantor kepresidenan, dan ruang ini persis bersebelahan dengan ruang kerja Presiden.

Dengan setia, lelaki itu akan datang pagi-pagi sekali. Sisa kantuk akan diusirnya dengan secangkir kecil kopi hitam. Juga sebatang rokok yang dihisapnya di luar sana, di teras yang menghadap ke taman utama istana. Lalu dia akan memulai rutinnya. Membuka layar komputer, meski masih tergagap-gagap, memeriksa box-mail, dan membaca rentetan sari berita yang sudah disiapkan oleh lima orang staf-nya sampai larut malam. Proses ini berlansung setengah jam, selalu setengah jam, sembari tangannya mencoret-coret di memo-pad, membuat catatan penting untuk mendapat tindak lanjut.

Setengah jam berikut akan dihabiskannya untuk membaca tumpukan dokumen yang tak pernah dipahaminya mengapa selalu datang pagi-pagi ke meja kerjanya. Dokumen yang umumnya berupa draf kasar keputusan dan instruksi Presiden atau memo tulisan tangan atau surat-surat lain dari siapapun yang ada di luar sana yang berkepentingan dengannya, tepatnya berkepentingan dengan Presiden. Dan dengan teliti akan membaca satu demi satu surat-surat tersebut, mengkategorikannya dan membuat petunjuk tindak lanjut. Hal yang tak pernah lalai dilakukannya adalah membuat catatan, lewat tulisan tangannya yang apik, dokumen apa saja yang dibacanya, juga diselingi pendapat dan tanggapan pribadi, di buku yang khusus disiapkannya. Persis seperti seorang siswa SMP menyalin ucapan tambahan guru-guru mereka.

Dalam keseluruhan proses itu, dia memang cuma mencacat dan nyaris tak punya pendapat. Ketulusannya akan mengejawantah melalui sebuah paraf kecil diatas dokumen yang akan ditandatangani Presiden. Sebuah rutinitas yang membuatnya berarti.

Tapi tentu saja masalahnya tak sesederhana itu. Sebagai birokrat, dia mengenal dengan baik denyut struktur dan kultur yang ada diluar sana. Dia juga mengamati dengan hati-hati tindakan Presiden dan orang-orang partai, bahkan teriakan demonstran di jalanan. Dan sebagai seorang yang berpengalaman sebagai pendamping, diam-diam dia juga mengembangkan pikiran-pikirannya sendiri. “Pikiran sederhana seorang pelaksana,” ungkapnya suatu waktu.

Dia mencatat: mula-mula perlu dibangun sebuah visi, sejenis bintang penerang arah bagi pelayaran pemerintahan. Dia menulisnya sebagai “pemurnian tujuan dasar pemerintahan”. Lalu kemudian – ini yang masih ramai diperdebatkan – perlu adanya suatu strategi insentif.

Soalnya, sebuah sistem insentif yang merangsang dan tentu saja berkeadilan, mendesak dibangun agar birokrasi tidak korup. Karena birokrasi amat besar dan luas, diperlukan pula penataan ulang hirarkhi demi melancarkan lalu lintas pemerintah dan kendali. Selanjutnya dirancang strategi pelayanan untuk menumbuhkan budaya pertanggungjawaban.

Walhasil, dari ruang senyap itu, tanpa sadar dia ternyata mengendalikan perubahan kultur, kebiasaan buruk para pejabat dan aparat. Dan ini disadarinya sebagai sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Tapi sebagai seorang berkepala dingin, jauh dari hura-hura publisitas dan tuntutan kekuasaan, dia ternyata amat menikmati pekerjaannya.

Penghuni ruang sebelah boleh berganti setiap saat, tapi sang birokrat bergeming disitu. Melumasi mesin raksasa dengan segala rutin tak habis-habis dari sikap bijaknya, dengan segala ketulusannya, dan tentu saja masih dalam kesenyapan.***

0 comments:

Newer Post Home