Cuplikan "Memerintah Dengan Lelucon" (3)

Jakarta, 14 Juni 2005

Baik. Kali ini pengakuan. Benar-benar saya akan membuat pengakuan. Tapi lihatlah di luar sana, mendung masih menggelayut menyungkup Jakarta. Kamu masih disitu asyik masyuk dengan Monte Cristo-mu, dengan asap biru kelabu mengepul menyusup ke sejuk udara, dengan kelap kelip layar note-book dan tak sabar menunggu saya membuat pengakuan.

Selalu begitu. Selalu ketergesaan, gegas yang mendesak, mengintimidasi, seperti kehidupan di luar sana. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan pada masa-masa mahasiswa dahulu dimana sang waktu dapat kita ajak berunding, mengulur-ulurnya hingga jenuh, lalu kita menelikungnya di bawah ketiak – begadang bermalam-malam sampai kemudian teringat bahwa kita sudah tahun kelima di fakultas.

Gegas yang juga selalu membawa kita berjumpa di siang hari selepas lunch, dengan leher berkeringat karena gerah dan kemacetan, untuk tiba dan terhempas di sini – atau dimana saja, dimana kita bisa duduk berdiam-diaman sebagai dua orang sahabat yang mencari pelarian dari rutin yang mendera-dera. Jakarta telah mengajarkan kepada kita banyak hal, termasuk keahlian ngeles dari tetek bengek urusan kantor. Dan kamu selalu beruntung, karena kamu bisa berkantor dimana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja karena kantormu ternyata sudah dibangun jauh sebelum kamu lahir – semacan tentakel gurita yang tumbuh dan berkembang seiring perkembangan usiamu, karena ayahmu, orang tuamu, atau siapapun mereka yang menurunkan garis darah ke titik hidupmu. Kamu memang beruntung dan merupakan pembuktian terbaik dari teori akumulasi kapital yang membuat saya, nun dahulu, dapat menghayati dengan nikmat salah satu kalimat dalam sandiwara Arifin C. Noer, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi – hanya dengan mengingatmu. “Sentimen sosial ini sunyi tersimpan dalam lubuk hati Sandek yang terdalam. Non verbal.” Sebuah kalimat pembeda yang secara nyata menciptakan lapisan saling tindih dalam kehidupan sosial.

Kita pernah intens mendiskusikan bahkan membenci kapitalisme, bukan? Kita pernah dengan bangga membaca Madilog dari Tan Malaka, biografi Syahrir, humanisme Soedjatmoko dan tentu saja pidato-pidato Castro dan Che Guevara. Bahkan hingga kini kita berkirim-kiriman bahan mengenai anti-global movement dan mengidolakan Subcomandante Marcos dengan menelisik dan menyimak surat-surat dan testimoninya dari pegunungan Chiapas di Mexico sana.

Tetapi semua itu, dalam gegas Jakarta yang selalu mempertemukan kita di oase ini, tinggal selaput romantisme dari perburuan atau keterjeratan kita di tengah gegas yang lain yang bernama gaya hidup. Kita senantiasa terserimpung, entah mengapa, dalam pusaran terminologi asset dan omzet, merger dan akuisisi, life style and entertainment. Oh ya, kamu sekarang sibuk mengidentifikasi diri sebagai pria metro-x, metroseksual, ‘kan?

metrosexual\me-(,)tro-seksh-(e)wel/ n:
1. pria pencipta trend abad ke-21; 2. lurus, pria kota dengan cita rasa seni tinggi; 3. pria yang meluangkan waktu dan uang untuk penampilan dan belanja; 4. pria yang berani merengkuh sisi feminismenya.

“Benar, bukan? Hayooo...”
“.....”
“Buat pengakuan, hayooo...”
“.......”

Ya, sudahlah. Saat ini sisi kapitalistik dalam diri kita memang sangat dominan. Dan tanpa sadar kita sudah menjadi penganut dan bahkan penggiat idiologi gaya hidup yang diturunkan oleh tuntutan-tuntutan pasar itu. Saya juga mencatat, bahwa sebagian besar bisnismu, bisnis yang kamu warisi dan kamu kelola itu, adalah bisnis yang menjajakan gaya hidup. Bisnis yang didisain untuk melicinkan peredaran dan pertumbuhan modal, termasuk melincinkan penguasaan atas kemanusiaan. (Offss...sorry, gak ada hubungannya ‘kan).

Aku cuma teringat bahwa kebebasan manusia yang menjadi pijakan dasar kapitalisme itu ternyata telah mengukir begitu banyak nama tokoh – mereka yang pada mulanya tak pernah membayangkan bahwa kebebasan azasi yang mereka perjuangkan nun suatu waktu hanya akan menjelma menjadi pelipur lara dalam sebuah ritus bernama gaya hidup. Atau menjadi ornamen desain interior rumah-rumah minum, persis sama seperti ketika kita mencetak foto Che Guevara di kaos kita dulu. Seperti juga ketika aku mengingat Marthin Luther King, di Mercantile Club yang adem ini.
Kita akhirnya sempat mengabadikan nama pahlawan di atas skenario pembunuhan massal itu, dengan menyertakan kambing hitam bernama komunisme. Atau pada jaman lain lagi, mengikutkan pembenar bernama kesenjangan ekonomi yang berlapis sentimen rasial. Juga etnis. Dan yang terakhir, seperti terjadi di Maluku, orang-orang dibunuh atas nama agama.
17 Januari 2000

Luther King

Semoga kebebasan bergema dari puncak-puncak pegunungan di New York, dari Rocky Mountain yang tertutup salju Colorado.

Hingga abad baru ini, teriakan Marthin Luther King itu, masih amat segar menyentak-nyentak. Sebuah teriakan yang menandai sebuah tonggak penting kemanusiaan, sebuah tanda dari abad yang bergemuruh oleh perubahan-perubahan penting. Dan kita pun mengenang King sebagai “negro” – satu diantara amat sedikit kulit hitam yang dihormati di dunia dalam 1000 tahun –sebuah ikon persamaan ras dan warna kulit di abad 20 ini. Berbeda dengan Nelson Mandela, seorang lelaki lain yang juga pejuang ras dan warna kulit, perjuangan King tampak menjadi istimewa, tercatat dan mendapat tempat – untuk mengutip Chairil Anwar, justru karena dia berjuang dan menjadi martir di negara yang konon paling demokratis di dunia, di Amerika Serikat. Negeri yang kala itu, pada tahun 60-an itu, dan bahkan mungkin sampai kini, ternyata masih menyimpan sentimen diskriminatif.

King memang sebuah tragedi, dan eposnya menemukan kesempurnaan ketika dia ditembak seorang kulit putih, ras yang juga amat dicintai lantaran menjadi pembeda ke-hitam-amannya, pada 4 April 1968. Sebuah tembakan yang mengantarkannya secara nyata menuju keabadian. Dan setelah peristiwa nahas itu, masyarakat Amerika pun kemudian membangun kesadaran untuk bebas sentimen warna kulit. Setidaknya secara resmi. Sebuah ending tragis, agaknya, karena perjuangan yang berlangsung berabad, bahkan sudah sejak Abraham Lincoln menghapus perbudakan, adalah perjuangan berdarah dan berairmata. Untuk itu pula mungkin sampai 17 Januari, masyarakat Paman Sam menghormatinya sebagai sebuah libur resmi, disebut sebagai Martin Luther King’s Day.

Lantas kita di sini? Tak perlu sebuah libur resmi untuk sebuah tragedi, agaknya. Sebab setelah asap revolusi kemerdekaan, kita senantiasa memandang kematian sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi. Sejenis surat nasib yang tak mungkin ditolak, semacam garis ilahiah yang mutlak tak terelakkan. Karena dari sana, kita bisa menulis epos kepahlawanan – cerita yang boleh dibuat bengkok sesuai selera; sekaligus menyusun bata demi bata kebencian, demi tegaknya bangunan kekuasaan. Tragedi 1965 pun kemudian menjadi referensi kita yang paling berdarah, disusul dengan tragedi Mei 98, dengan satu tambahan bentuk kebrutalan lain bernama pemerkosaan.

Kita akhirnya sempat mengabadikan nama pahlawan di atas skenario pembunuhan massal itu, dengan menyertakan kambing hitam bernama komunisme. Atau pada jaman lain lagi, mengikutkan pembenar bernama kesenjangan ekonomi yang berlapis sentimen rasial. Juga etnis. Dan yang terakhir, seperti terjadi di Maluku, orang-orang dibunuh atas nama agama. Seolah, seutas nyawa dari sebuah bangsa dengan populasi besar, hanya sebulir debu padang pasir yang dapat dilenyapkan di atas alasan sebuah konsep abstrak bernama komunisme, etnis, ras, agama. Padahal kita semua ternyata, hingga millenium ketiga ini, adalah manusia. Makhluk yang senantiasa menyimak gema kebebasan, mengimpikannya, merindukannya hadir sebagai sebuah keabadian. Adakah kini, kita benar terlupa?

0 comments:

Older Post Home