Jakarta, 14 Juni 2005

Baik. Kali ini pengakuan. Benar-benar saya akan membuat pengakuan. Tapi lihatlah di luar sana, mendung masih menggelayut menyungkup Jakarta. Kamu masih disitu asyik masyuk dengan Monte Cristo-mu, dengan asap biru kelabu mengepul menyusup ke sejuk udara, dengan kelap kelip layar note-book dan tak sabar menunggu saya membuat pengakuan.

Selalu begitu. Selalu ketergesaan, gegas yang mendesak, mengintimidasi, seperti kehidupan di luar sana. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan pada masa-masa mahasiswa dahulu dimana sang waktu dapat kita ajak berunding, mengulur-ulurnya hingga jenuh, lalu kita menelikungnya di bawah ketiak – begadang bermalam-malam sampai kemudian teringat bahwa kita sudah tahun kelima di fakultas.

Gegas yang juga selalu membawa kita berjumpa di siang hari selepas lunch, dengan leher berkeringat karena gerah dan kemacetan, untuk tiba dan terhempas di sini – atau dimana saja, dimana kita bisa duduk berdiam-diaman sebagai dua orang sahabat yang mencari pelarian dari rutin yang mendera-dera. Jakarta telah mengajarkan kepada kita banyak hal, termasuk keahlian ngeles dari tetek bengek urusan kantor. Dan kamu selalu beruntung, karena kamu bisa berkantor dimana saja, kapan saja dan dengan cara apa saja karena kantormu ternyata sudah dibangun jauh sebelum kamu lahir – semacan tentakel gurita yang tumbuh dan berkembang seiring perkembangan usiamu, karena ayahmu, orang tuamu, atau siapapun mereka yang menurunkan garis darah ke titik hidupmu. Kamu memang beruntung dan merupakan pembuktian terbaik dari teori akumulasi kapital yang membuat saya, nun dahulu, dapat menghayati dengan nikmat salah satu kalimat dalam sandiwara Arifin C. Noer, Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi – hanya dengan mengingatmu. “Sentimen sosial ini sunyi tersimpan dalam lubuk hati Sandek yang terdalam. Non verbal.” Sebuah kalimat pembeda yang secara nyata menciptakan lapisan saling tindih dalam kehidupan sosial.

Kita pernah intens mendiskusikan bahkan membenci kapitalisme, bukan? Kita pernah dengan bangga membaca Madilog dari Tan Malaka, biografi Syahrir, humanisme Soedjatmoko dan tentu saja pidato-pidato Castro dan Che Guevara. Bahkan hingga kini kita berkirim-kiriman bahan mengenai anti-global movement dan mengidolakan Subcomandante Marcos dengan menelisik dan menyimak surat-surat dan testimoninya dari pegunungan Chiapas di Mexico sana.

Tetapi semua itu, dalam gegas Jakarta yang selalu mempertemukan kita di oase ini, tinggal selaput romantisme dari perburuan atau keterjeratan kita di tengah gegas yang lain yang bernama gaya hidup. Kita senantiasa terserimpung, entah mengapa, dalam pusaran terminologi asset dan omzet, merger dan akuisisi, life style and entertainment. Oh ya, kamu sekarang sibuk mengidentifikasi diri sebagai pria metro-x, metroseksual, ‘kan?

metrosexual\me-(,)tro-seksh-(e)wel/ n:
1. pria pencipta trend abad ke-21; 2. lurus, pria kota dengan cita rasa seni tinggi; 3. pria yang meluangkan waktu dan uang untuk penampilan dan belanja; 4. pria yang berani merengkuh sisi feminismenya.

“Benar, bukan? Hayooo...”
“.....”
“Buat pengakuan, hayooo...”
“.......”

Ya, sudahlah. Saat ini sisi kapitalistik dalam diri kita memang sangat dominan. Dan tanpa sadar kita sudah menjadi penganut dan bahkan penggiat idiologi gaya hidup yang diturunkan oleh tuntutan-tuntutan pasar itu. Saya juga mencatat, bahwa sebagian besar bisnismu, bisnis yang kamu warisi dan kamu kelola itu, adalah bisnis yang menjajakan gaya hidup. Bisnis yang didisain untuk melicinkan peredaran dan pertumbuhan modal, termasuk melincinkan penguasaan atas kemanusiaan. (Offss...sorry, gak ada hubungannya ‘kan).

Aku cuma teringat bahwa kebebasan manusia yang menjadi pijakan dasar kapitalisme itu ternyata telah mengukir begitu banyak nama tokoh – mereka yang pada mulanya tak pernah membayangkan bahwa kebebasan azasi yang mereka perjuangkan nun suatu waktu hanya akan menjelma menjadi pelipur lara dalam sebuah ritus bernama gaya hidup. Atau menjadi ornamen desain interior rumah-rumah minum, persis sama seperti ketika kita mencetak foto Che Guevara di kaos kita dulu. Seperti juga ketika aku mengingat Marthin Luther King, di Mercantile Club yang adem ini.
Kita akhirnya sempat mengabadikan nama pahlawan di atas skenario pembunuhan massal itu, dengan menyertakan kambing hitam bernama komunisme. Atau pada jaman lain lagi, mengikutkan pembenar bernama kesenjangan ekonomi yang berlapis sentimen rasial. Juga etnis. Dan yang terakhir, seperti terjadi di Maluku, orang-orang dibunuh atas nama agama.
17 Januari 2000

Luther King

Semoga kebebasan bergema dari puncak-puncak pegunungan di New York, dari Rocky Mountain yang tertutup salju Colorado.

Hingga abad baru ini, teriakan Marthin Luther King itu, masih amat segar menyentak-nyentak. Sebuah teriakan yang menandai sebuah tonggak penting kemanusiaan, sebuah tanda dari abad yang bergemuruh oleh perubahan-perubahan penting. Dan kita pun mengenang King sebagai “negro” – satu diantara amat sedikit kulit hitam yang dihormati di dunia dalam 1000 tahun –sebuah ikon persamaan ras dan warna kulit di abad 20 ini. Berbeda dengan Nelson Mandela, seorang lelaki lain yang juga pejuang ras dan warna kulit, perjuangan King tampak menjadi istimewa, tercatat dan mendapat tempat – untuk mengutip Chairil Anwar, justru karena dia berjuang dan menjadi martir di negara yang konon paling demokratis di dunia, di Amerika Serikat. Negeri yang kala itu, pada tahun 60-an itu, dan bahkan mungkin sampai kini, ternyata masih menyimpan sentimen diskriminatif.

King memang sebuah tragedi, dan eposnya menemukan kesempurnaan ketika dia ditembak seorang kulit putih, ras yang juga amat dicintai lantaran menjadi pembeda ke-hitam-amannya, pada 4 April 1968. Sebuah tembakan yang mengantarkannya secara nyata menuju keabadian. Dan setelah peristiwa nahas itu, masyarakat Amerika pun kemudian membangun kesadaran untuk bebas sentimen warna kulit. Setidaknya secara resmi. Sebuah ending tragis, agaknya, karena perjuangan yang berlangsung berabad, bahkan sudah sejak Abraham Lincoln menghapus perbudakan, adalah perjuangan berdarah dan berairmata. Untuk itu pula mungkin sampai 17 Januari, masyarakat Paman Sam menghormatinya sebagai sebuah libur resmi, disebut sebagai Martin Luther King’s Day.

Lantas kita di sini? Tak perlu sebuah libur resmi untuk sebuah tragedi, agaknya. Sebab setelah asap revolusi kemerdekaan, kita senantiasa memandang kematian sebagai sesuatu yang sudah seharusnya terjadi. Sejenis surat nasib yang tak mungkin ditolak, semacam garis ilahiah yang mutlak tak terelakkan. Karena dari sana, kita bisa menulis epos kepahlawanan – cerita yang boleh dibuat bengkok sesuai selera; sekaligus menyusun bata demi bata kebencian, demi tegaknya bangunan kekuasaan. Tragedi 1965 pun kemudian menjadi referensi kita yang paling berdarah, disusul dengan tragedi Mei 98, dengan satu tambahan bentuk kebrutalan lain bernama pemerkosaan.

Kita akhirnya sempat mengabadikan nama pahlawan di atas skenario pembunuhan massal itu, dengan menyertakan kambing hitam bernama komunisme. Atau pada jaman lain lagi, mengikutkan pembenar bernama kesenjangan ekonomi yang berlapis sentimen rasial. Juga etnis. Dan yang terakhir, seperti terjadi di Maluku, orang-orang dibunuh atas nama agama. Seolah, seutas nyawa dari sebuah bangsa dengan populasi besar, hanya sebulir debu padang pasir yang dapat dilenyapkan di atas alasan sebuah konsep abstrak bernama komunisme, etnis, ras, agama. Padahal kita semua ternyata, hingga millenium ketiga ini, adalah manusia. Makhluk yang senantiasa menyimak gema kebebasan, mengimpikannya, merindukannya hadir sebagai sebuah keabadian. Adakah kini, kita benar terlupa?

Jakarta, 14 Juni 2005

Tunggu, saya ingin membuat pengakuan.

Mendung makin tebal menggelayut, menggantung di langit Jakarta. Sisa gerah sudah berganti sejuk yang sesak, seperti senyum perempuan memendam dendam. Saya tahu persis keadaan di luar sana, karena bertahun-tahun saya melewatkan siang di jalanan.

Dan kamu? Kamu yang tak pernah mengenal gerah, yang sejak balita bermobil kemana-mana, apa pendapatmu tentang sejuk yang sesak dari mendung menggelayut? Secangkir kopi lagi, katamu memesan kepada pelayan yang berserangam lebih apik dari para stewardess penerbangan trans-atlantik. Imajinasi secangkir kopi, malam-malam romantis di kota-kota lingkar mediterran dimusim panas, romantisme perlawanan khas latin amerika, bersatu padu dalam benakku menyaksikanmu mengepulkan asap Monte Cristo. Sejak kapan kamu gemar cerutu?

Tapi ini memang Mercantile Club. Oase bagi para eksekutif papan atas Jakarta. Dan kopi dan cerutu dan sopan santun tak bernama melalui obrolan pelan penuh senyum, tidakkah semuanya menguarkan kepalsuan juga? Dan kamu rupanya sudah terbiasa. Meski tadi, kita telah memesan rasa lapar yang asing atau entah memesan apa.

Aku teringat pertemuan dan perkenalan kita dahulu di kampus yang berbau kayu dan tanah dengan rumpun-rumpun bambu nan rindang. Kamu datang sebagai anak yang manis yang halus tangannya hanya bisa dibandingkan dengan telapak pacar-pacar yang selalu kita elus-elus itu. Kulitmu bersih khas anak-anak orang kaya. Sangat kontras dengan kusut kumuh sosokku, sosok kami mahasiswa umumnya, yang datang dari desa-desa yang jauh berbekal cita-cita perubahan nasib dan kehormatan.

Kamu bergabung dengan kami, kelompok kecil warung bambu yang belakangan kita sebut bamboo-house. Kelompok ngopi-ngopi siang dan sore hari di sela-sela perkuliahan. Kelompok debat yang tak tentu juntrungan khas mahasiswa. Dan yang ramai kita perdebatkan tentu soal politik, sampai akhirnya kelompok kita menjelma menjadi kelompok penentang yang rajin memasang poster dan spanduk. Kelompok mimbar bebas. Kelompok penulis sajak protes. Kelompok penyelenggara seminar dengan mengundang pembicara-pembicara yang menjadi musuh rejim. Bahkan, seorang eks tapol pun kita pernah undang untuk berbicara di mimbar bebas di lapangan kampus. Dan sejak saat itu, bamboo-house selalu dijubeli intel-intel Kodam, petugas yang belakangan sering juga nebeng di mobil Kijang milikmu kalau kita sudah harus pulang.

Waktu itu saya tak habis pikir. Kehidupanmu yang mapan sebagai putra seorang pengusaha, atau penguasa, atau apalah namanya, sangat tak masuk akal bisa didongkeli sikap-sikap dan pilihan seperti yang kami jalani. Sikap dan pilihan menjadi aktivis dengan masa depan tak menentu. Kamu bermobil ke kampus. Kamu bisa bersekolah di negeri mana pun dengan biaya orang tuamu dan dapat meraih masa depan yang gemilang. Mengapa harus memilih jalan sulit? Mengorbankan jam-jam kuliah di kelas untuk saling adu gagasan di bamboo-house, lalai menyetor tugas-tugas kuliah karena lebih sibuk dengan bulletin stensilan dan selebaran atau ikut mengompori pedagang kaki lima untuk memprotes penggusuran. Mengapa?

“Aneh,” tiba-tiba kamu berteriak. Monte Cristomu terjatuh ke lantai berkarpet.
“Apa yang aneh,” balasku terkejut.
“Kamu. Katanya mau membuat pengakuan.”

Pengakuan?

Tunggu. Aku kini teringat topik yang pernah berminggu-minggu menjadi bahan diskusi kita di bamboo-house. Lelucon politik atau humor politik atau apalah namanya. Ketika itu terbit sebuah buku kecil berjudul Mati Ketawa Cara Rusia -- dan diberi pengantar oleh Abdurrahman Wahid, tokoh yang belakangan menjadi Presiden RI. Tokoh yang dulu kita sangat kagumi dan heran ketika jadi Presiden begitu banyak orang tak menyukainya.

Saya ingat persis bagaimana buku itu beredar dari tangan ke tangan dan hampir seluruh humor di dalamnya kita hapal di luar kepala, seperti menghapal nama cewek-cewek buruan kita. Tapi, yang kuingat hingga saat ini hanya ucapan Abdurrahman Wahid pada pengantarnya: “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan buku. Tetapi lebih bodoh lagi orang yang mau mengembalikan buku yang dia pinjam.” Lucu bukan?


Pemerintahan akhirnya mesti dibedakan secara tegas dengan panggung teater. Meski keduanya dapat menimbulkan efek yang sama bagi publik – skenario, plot, suspens, dst., dan keduanya butuh kesungguhan dan daya cipta. Karena itu, bila kemudian dalam mengelola pemerintahan, Gus Dur lebih banyak main teater, yang artinya sama dengan main politik, efektifitas posisi dan legitimasinya kemudian akan makin dipertanyakan, wibawa dan kharismanya kemudian perlahan akan tergerus.

Memerintah dengan Lelucon

Politik, pada awalnya dan juga pada akhirnya, adalah permainan. Mungkin karena itulah, Gus Dur tak pernah tampak serius betul memerintah. Sebagai Kepala Negara, juga Kepala Pemerintahan, kiyai kita itu tampak lebih banyak melempar anekdot dan lelucon. Seakan hanya dengan canda dan guyon, masalah-masalah besar kenegaraan dan kebangsaan bisa terselenggara dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sampai santer terdengar ungkapan, andaikata lelucon dan anekdot bisa diekspor, ekonomi Indonesia bisa segera keluar dari krisis dan segera bangkit kembali.

Memang tak terbantah bahwa pada suatu saat pemerintahan yang angker itu memerlukan kelakar. Harun Al Rasyid, Khalifah V kerajaan Abbasiyah, memerintah “didampingi” Abunawas yang amat pandai memecahkan persoalan. Dengan lelucon, tentu saja. Tapi kita juga sadar bahwa pemerintahan, pada penghujung abad ini, adalah sebuah disiplin yang amat jauh berbeda dengan jaman kejayaan kesultanan Islam tahun 700-an Masehi itu. Termasuk modus dan kiat permainan politik yang menyertainya.

Gus Dur pasti memahami itu, karena dia adalah seorang yang sangat mengerti gelagat sejarah dan seorang yang dikenal sebagai pencerap yang lahap dari pemikiran-pemikiran besar.

Cuma persoalannya ialah bahwa pemerintahan umumnya tak bersangkut paut dengan great design dari pikiran-pikiran besar semata. Dia lebih memerlukan sebuah sikap “nyinyir” atas nama detail dan permakluman yang dalam atas kerumitan teknis. Dia, pemerintahan moderen itu, lebih butuh sikap dingin seorang dokter dan ketekunan seorang akuntan, ketimbang antusiasme seorang pemikir jenius yang terpukau ideal-ideal filosofis. Dia lebih memerlukan manajer ketimbang idiolog yang umumnya tak memahami alif bengkoknya perencanaan dan pengendalian. Pemerintahan lebih butuh teknokrat. Karena pemerintahan adalah sebuah organisasi besar, sesuatu yang mengandaikan tingkat rasionalitas tinggi di satu pihak. Sementara pada pihak lain, dia sejenis kanal bagi segenap kepentingan subyektif kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Karenanya, dia tentu lebih butuh birokrat. Ya, teknokrat dan birokrat. Dua tipe yang nyatanya tak akrab dengan guyon, kelakar dan anekdot.

Pemerintahan akhirnya mesti dibedakan secara tegas dengan panggung teater. Meski keduanya dapat menimbulkan efek yang sama bagi publik – skenario, plot, suspens, dst., dan keduanya butuh kesungguhan dan daya cipta. Karena itu, bila kemudian dalam mengelola pemerintahan, Gus Dur lebih banyak main teater, yang artinya sama dengan main politik, efektifitas posisi dan legitimasinya kemudian akan makin dipertanyakan, wibawa dan kharismanya kemudian perlahan akan tergerus.

Masyarakat yang sudah terbiasa berada pada jalur tertib, dalam ritus kepatuhan dan kebungkaman sepanjang masa Orde Baru, akan kembali merindukan betapa sebuah tata tertib harus kembali ditegakkan. Kalau perlu dengan bedil. Sebab mereka yakin, dalam barisan yang apik dan derap seragamlah, tujuan tampaknya akan lebih mudah tercapai.

Tapi tentu saja kita tak ingin lagi kembali ke masa itu. Masa dimana pemerintahan tak mengenal senyum apalagi lelucon. Karena sudah terbukti bahwa dalam sebuah derap langkah tegak barisan, seseorang tiba-tiba, maaf, kentut, maka tata tertib akan cair dan bubar dengan sendirinya.

Jadi, politik memang tak akan berhenti hanya sebagai sebuah permainan. Dia butuh kesungguhan. Dan bila Gus Dur masih terus dengan gayanya itu, kita akan segera menghadirkan orang yang, kalau perlu, alergi kelakar dan anekdot. Untuk mengurus pemerintahan. Dan biarkanlah Gus jadi Kepala Negara saja. Bukankah, kali ini ternyata Abunawaslah yang justru jadi khalifah?***



Memerintah Dengan Lelucon adalah draf yang dipersiapkan menjadi sebuah buku. Berisi esai-esai yang ditulis pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian diberi sakadar frame untuk menjaga aktualitasnya. Esai-esai ini terbit setiap minggu pada kolom Ventilasi, Tabloid Integrasi.
Salam
moch. hasymi ibrahim
Jakarta, 14 Juni 2005

Mendung menyaput langit Jakarta menjadi lebih kelam. Lamat-lamat dari bawah sana berdengung gemuruh lalulintas, seolah bisikan kabar buruk. Sesekali terdengar bunyi klakson, merambat mendaki dinding gedung seperti desak ketaksabaran. Hujan memang tidak turun meski kelam telah menyungkup siang. Cuaca ternyata makin sulit ditebak, seperti gelagat pemerintah. Tetapi benarkah pemerintah sekarang sulit ditebak?

Kita berdua saja. Duduk. Entah untuk apa. Kita hanya mencoba menepi dari bising dan sesak Jakarta, mencari oase di pucuk sebuah gedung, di lantai 21, di sebuah lounge yang lapang, adem dan wangi . Kamu khusyuk menghadapi notebook-mu, berselancar di dunia maya, seperti hendak mengekalkan sejuk – atau mungkin hanya bercanda dengan gadis-gadis maya di ruang chat.

Memesan kopi hitam yang pekat, kamu seperti memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya (untuk mengutip sebuah sajak). Dan aku – masih mengutip syair itu : entah memesan apa. Tetapi di meja kita kemudian tersaji dengan apik dua potong tiramisu, dua cangkir kopi hitam. Kita memang menyukai kelam, bukan?

Dalam asyik kediam-diaman kita, aku yang tak benar-benar sanggup menepi dari bising Jakarta, memandang gedung kusam di seberang, tiba-tiba membayangkan sosok seorang birokrat, berusia separuh baya, mungkin 48 atau 52, duduk dengan tenang di ruang kerjanya yang sepi dan tersembunyi, di sayap lain kantor kepresidenan. Dia mengenakan potongan resmi sederhana, dengan dasi merah maroon, dengan kacamata Cartier model lama. Kubayangkan dia sedang memelototi dokumen dengan ketelitian seorang peneliti mikrobiologi. Dengung AC mendengung halus meningkahi dengung pentium dari notebook tipis di meja kerjanya.

Ya, saya bayangkan dia juga sedang menepi dari riuh Jakarta. Tepatnya, dari hiruk pikuk urusan kepresidenan yang tak habis-habis. Di ruangan kerjanya, di West Wing yang lain ini, dia memang selalu menemukan ketenangan siang hari. Dia seperti kembali kepada keutuhan diri setelah di luar sana, entah di ruang mana istana kepresidenan ini, dia tak lebih dari ornamen pelengkap dari upacara-upacara resmi, berdiri bagai patung perunggu di sisi belakang Presiden, diam menyimak menangkap poin-poin penting pernyataan dan sesekali mengedarkan pandangan untuk membaca ekspresi wajah orang-orang penting yang hadir.

Kalau di luar sana dia hanya ornamen, patung bisu upacara kenegaraan, pelengkap kemegahan, di ruangan ini dia merasa benar-benar bermakna. Utuh sebagai manusia, dengan segenap kuasa yang disandangnya. Dan mungkin tak banyak yang tahu, kalau dari meja kerjanya yang terbuat dari kayu mahoni berlapis kaca gelap ini, nasib orang-orang penting di luar sana ditentukan dan dipermainkan.

Tetapi benarkah demikian?
Entah.
Tapi itulah yang saya bayangkan saat ini.

Dan istana kepresidenan, memang sebuah lanskap yang selalu menarik perhatian dan keingintahuan, sebuah atmosfir dimana kekuasaan dan pengaruh dikendalikan. Paling tidak kantor amat penting itu, telah menjadi saksi pembicaraan-pembicaraan penting yang menentukan nasib dan kehidupan jutaan orang lainnya, termasuk pesta-pesta megah kenegaraan yang entah mengapa selalu membuat kita yang menyaksikannya lewat televisi menjadi irihati.

Mendung di luar makin tebal. Hujan tak juga turun dan ketidaksabaran kendaraan di bawah sana makin nyata dalam pekikak klakson, lamat-lamat sampai ke sini.

Kita memang tumbuh dalam masa dimana ritus-ritus kenegaraan menjadi pukauan, seperti sihir, terutama bagi kepolosan kanak-kanak nun jauh di pedesaan. Siaran TV dengan kanal tunggal pada masa itu, memaksa kita untuk terobsesi pada kehidupan istana, dengan segenap upacara simboliknya. Dan sayangnya, tak pernah terbayangkan, siapa gerangan yang telah bekerja di balik semua kemegahan itu. Siapa yang – seperti birokrat yang saya bayangkan itu, berada pada sebuah ruang tersembunyi, dengan tekun, mengurus hal-hal megah di luar sana tanpa perlu menampilkan diri. Seorang yang mungkin ketulusannya dan kealpaannya, ambisi dan kerendahatiannya, tak akan pernah dapat kita lacak.
Karena birokrasi amat besar dan luas, diperlukan pula penataan ulang hirarkhi demi melancarkan lalu lintas pemerintah dan kendali. Selanjutnya dirancang strategi pelayanan untuk menumbuhkan budaya pertanggungjawaban.
Jakarta, 30 Juni 2000

Sang Birokrat

Ruang kerja itu tenang, nyaris sunyi. Hanya ada desis halus AC dan sesekali dering telepon. Debu yang biasanya lazim di kantor-kantor pemerintah, seolah enggan hinggap di sana. Mungkin segan. Mungkin juga karena penghuninya, lelaki separuh baya itu, adalah sosok yang tak betah dengan debu. Atau, karena ruangan ini adalah ruang kerja paling penting di Republik. Ini adalah kantor kepresidenan, dan ruang ini persis bersebelahan dengan ruang kerja Presiden.

Dengan setia, lelaki itu akan datang pagi-pagi sekali. Sisa kantuk akan diusirnya dengan secangkir kecil kopi hitam. Juga sebatang rokok yang dihisapnya di luar sana, di teras yang menghadap ke taman utama istana. Lalu dia akan memulai rutinnya. Membuka layar komputer, meski masih tergagap-gagap, memeriksa box-mail, dan membaca rentetan sari berita yang sudah disiapkan oleh lima orang staf-nya sampai larut malam. Proses ini berlansung setengah jam, selalu setengah jam, sembari tangannya mencoret-coret di memo-pad, membuat catatan penting untuk mendapat tindak lanjut.

Setengah jam berikut akan dihabiskannya untuk membaca tumpukan dokumen yang tak pernah dipahaminya mengapa selalu datang pagi-pagi ke meja kerjanya. Dokumen yang umumnya berupa draf kasar keputusan dan instruksi Presiden atau memo tulisan tangan atau surat-surat lain dari siapapun yang ada di luar sana yang berkepentingan dengannya, tepatnya berkepentingan dengan Presiden. Dan dengan teliti akan membaca satu demi satu surat-surat tersebut, mengkategorikannya dan membuat petunjuk tindak lanjut. Hal yang tak pernah lalai dilakukannya adalah membuat catatan, lewat tulisan tangannya yang apik, dokumen apa saja yang dibacanya, juga diselingi pendapat dan tanggapan pribadi, di buku yang khusus disiapkannya. Persis seperti seorang siswa SMP menyalin ucapan tambahan guru-guru mereka.

Dalam keseluruhan proses itu, dia memang cuma mencacat dan nyaris tak punya pendapat. Ketulusannya akan mengejawantah melalui sebuah paraf kecil diatas dokumen yang akan ditandatangani Presiden. Sebuah rutinitas yang membuatnya berarti.

Tapi tentu saja masalahnya tak sesederhana itu. Sebagai birokrat, dia mengenal dengan baik denyut struktur dan kultur yang ada diluar sana. Dia juga mengamati dengan hati-hati tindakan Presiden dan orang-orang partai, bahkan teriakan demonstran di jalanan. Dan sebagai seorang yang berpengalaman sebagai pendamping, diam-diam dia juga mengembangkan pikiran-pikirannya sendiri. “Pikiran sederhana seorang pelaksana,” ungkapnya suatu waktu.

Dia mencatat: mula-mula perlu dibangun sebuah visi, sejenis bintang penerang arah bagi pelayaran pemerintahan. Dia menulisnya sebagai “pemurnian tujuan dasar pemerintahan”. Lalu kemudian – ini yang masih ramai diperdebatkan – perlu adanya suatu strategi insentif.

Soalnya, sebuah sistem insentif yang merangsang dan tentu saja berkeadilan, mendesak dibangun agar birokrasi tidak korup. Karena birokrasi amat besar dan luas, diperlukan pula penataan ulang hirarkhi demi melancarkan lalu lintas pemerintah dan kendali. Selanjutnya dirancang strategi pelayanan untuk menumbuhkan budaya pertanggungjawaban.

Walhasil, dari ruang senyap itu, tanpa sadar dia ternyata mengendalikan perubahan kultur, kebiasaan buruk para pejabat dan aparat. Dan ini disadarinya sebagai sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Tapi sebagai seorang berkepala dingin, jauh dari hura-hura publisitas dan tuntutan kekuasaan, dia ternyata amat menikmati pekerjaannya.

Penghuni ruang sebelah boleh berganti setiap saat, tapi sang birokrat bergeming disitu. Melumasi mesin raksasa dengan segala rutin tak habis-habis dari sikap bijaknya, dengan segala ketulusannya, dan tentu saja masih dalam kesenyapan.***